Pelatihan Komputer & Internet

07 Juni, 2010

Tanjung Melagan, penghasil arang kualitas internasional

Tanjung Melagan saat air laut surut


Tungku pembakaran arang

Pukul 5.30 pagi itu alarm handphone-ku berbunyi mengingatkanku dengan janjiku untuk mengunjungi seorang sahabat yang tinggal di ujung selatan kepulauan riau, pulau galang baru. Aku segera bergegas dari tempat tidurku menuju kamar mandi, satu jam kemudian saya berangkat bersama temanku Lifari yang datang mengunjungiku kemarin, ia bekerja di salah satu perusahaan pelayaran di Singapore. Mendung tak nenyurutkan langkah kami untuk berangkat, kami berangkat dari bengkong laut menuju tanjung melagan naik sepeda motor, hari masih pagi tapi di jalan mulai ramai dengan orang-orang yang akan berangkat bekerja, maklumlah di Batam kota industri, banyak pabrik dan perusahaan asing disini.

Belum separuh perjalanan gerimis mulai turun, kami pun berhenti di warung sembari sarapan. Usai sarapan kami melanjutkan perjalanan lagi, beberapa menit kemudian kami sampai di jembatan I, kami pun berhenti sejenak melihat suasana pagi yang indah. Tak ingin berlama-lama di jembatan I kami melanjutkan perjalan kembali karena masih ada jembatan II samapai jembatan VI yang akan kami lalui. Jembatan-jembatan tersebut menghubungkan rentetan pulau Batam sampai pulau Galang Baru sehingga jembatan tersebut diberi nama jembatan Barelang yang tidak lain adalah singkatan dari Batam Rempang Galang.

Hari itu cuaca kurang bersahabat, kulihat didepan mendung, hampir sampai ke jembatan V hujan pun turun. Kami berteduh di pos persimpangan menuju Galang. Sudah ada 3 orang yang berteduh disitu, salah satu diantaranya adalah seorang guru. Sejenak aku berpikir berapa jam pelajaran yang telah beliau habiskan tidak mengajar siswanya yang telah menunggunya di sekolah. Hampir satu jam juga kami menunggu hujan tak jua reda, akhirnya kami melanjutkan perjalanan mengunakan jas hujan.

Sampai di jembatan VI kami telah di tunggu kak dani, teman satu kampung yang tinggal di Tanjung Melagan. Ia bertugas mengajar di TPQ dan bertindak sebagai muazdin di masjid sekaligus menjadi khatib setiap shalat jumat. Untuk sampai ke tanjung melagan harus menyebrangi selat-selat diantara pulau-pulau di ujung selatan kepulauan riau. Kami menyebrang dari perusahaan Arang menggunakan pompong (perahu kecil) dengan motor diesel berbahan bakar solar, waktu tempuh sekitar 25 menit. Begitu pompong berlayar hati terasa lega, betapa indahnya pemandangan laut disekitar gugusan pulau di ujung kepri. Banyak kami jumpai rumah-rumah penduduk diatas laut. Ada juga keramba tempat menjemur ikan teri.

Sampai di tanjung melagan air laut sedang surut, turun dari pompong kami harus jalan kaki menuju pelantar (dermaga kecil) tempat biasanya pompong bersandar. Disekitar pelantar kak dani mengambil kempang (ranga-ranga:bwn) untuk dimasak. Setiba di tanjung melagan kami beristirahat sebentar, Selanjutnya silaturrahmi ke tempat obak Zainal. Obak Zainal adalah warga asli Bawean Menara Gunungmenur yang sudah bermukim di tanjung melagan berpuluh-puluh tahun silam. Konon ceritanya dahulu berkunjung ke tanjung melagan hanya untuk mengantar istrinya asal Tanahmera Kepuh untuk bertemu dengan orang tuanya yang sudah bertahun tidak pulang ke Bawean. Betah di tanjung melagan akhirnya beliau tidak pulang ke Bawean juga hingga sekarang sudah mempunyai banyak cucu disana.

Selain Obak Zainal yang tinggal di gugusan pulau ujung selatan kepri, ada juga obak Sadik asal Kelbung Menara Bawean yang tinggal di pulau korek , beliau sudah tinggal di pulau korek sejak tahun 1979. Dipulau korek beliau tinggal bersama istrinya (Asal Pancor Sidogedungbatu) dan anaknya (Salim) yang telah menikah dengan gadis Melayu. Tidak ada tetangga di sebelah rumahnya. Cerita pertama kali beliau ke pulau korek tidak jauh berbeda dengan obak Zainal, yaitu mau mengantar anaknya untuk dipertemukan dengan orangtuanya. Jarak Pulau korek dengan tanjung melagan tidak begitu jauh, bisa ditempuh dengan naik pompong sekitar 10 menit, kalau naik pompong tanpa mesin alias mendayung bisa ditempuh sekitar 30 menit. Kesehariannya tidak jauh beda dengan warga di tanjung melagan yaitu mengelola kayu bakau untuk dijadikan arang. Selain kayu bakau ada juga kayu messi yang kualitas arangnya hampir sama.

Kendati tinggal di persisir laut tapi warganya tidak berpenghasilan dari nelayan melainkan dengan mengelola kayu Bakau (mangroov) untuk dijadikan arang yang kemudian dijual ke perusahaan arang untuk dijual kembali ke konsumen di dalam dan luar negeri. Proses pembuatan kayu arang tidaklah mudah. Waktu yang dibutuhkan sekitar 15 hari bisa lebih, tergantung muatan kayu didalam tungku. Semakin banyak muatan semakin lama watu pembakaran. Setelah pembakaran selesaipun arang yang sudah jadi didalam tungku tidak langsung di bongkar tapi didiamkan selama sekitar satu minggu hingga arang didalamnya dingin. Konon ada beberapa pantangan yang tidak boleh dilanggar, misal: tidak boleh ada wanita haid lewat didepan tungku pembakaran arang, tidak boleh membakar ubi atau sejenisnya ditungku pembakaran. Bila hal-hal tersebut dilanggar maka arang tidak akan masak sempurna. Sehingga prosesnya harus diulang dari awal. Ada juga beberapa warga yang mengadakan acara selamatan bubur merah sebelum tungku arang dibakar.

Bagi penduduk tanjung melagan Mencari ikan dilaut hanya untuk dimakan sehari-hari, tidak untuk dijual. Transportasi utama adalah kepompong (sejenis perahu kecil), orang sana menyebutnya motor. Di tanjung melagan tidak ada sekolah dasar. Anak-anak mereka bersekolah ke pulau sembur, pulau dimana tempat berbelanja kebutuhan sehari dan di pulau semburlah pulau teramai. Sumber listrik bukanlah dari PLN melainkan dari mesin-mesin genset yang yang disalukan dari rumah ke rumah dan hanya menyala menjelang maghrib sampai pukul 22.00 WIB.

Maulud Pemuda Menara Malaysia